Penyebab
abortus spontan
Menurut Oxorn, H dan
William RF. 1996 penyebab abortus adalah sebagai berikut:
1. Faktor Fetal
Penyebab
yang paling sering menimbulkan abortus spontan adalah abnormalitas kromosom
pada janin. Sekitar 2/3 dari abortus spontan pada trimester pertama merupakan
anomali kromosom dengan ½ dari jumlah tersebut adalah trisomi autosom dan
sebagian lagi merupakan triploid, tetraploid, atau monosomi 45x. Sekitar 5 %
abortus terjadi karena faktor genetik. Paling sering ditemukannya kromosom
trisomi dengan trisomi 16.
Lebih dari
60% abortus spontan yang terjadi pada trimester pertama menunjukkan beberapa
tipe abnormalitas genetik. Abnormalitas genetik yang paling sering terjadi
adalah aneuploidi (abnormalitas komposisi kromosom) contohnya trisomi autosom
yang menyebabkan lebih dari 50% abortus spontan. Poliploidi menyebabkan sekitar
22% dari abortus spontan yang terjadi akibat kelainan kromosom. Sekitar 3-5%
pasangan yang memiliki riwayat abortus spontan yang berulang salah satu dari
pasangan tersebut membawa sifat kromosom yang abnormal. Identifikasi dapat
dilakukan dengan pemeriksaan kariotipe dimana bahan pemeriksaan diambil dari
darah tepi pasangan tersebut. Tetapi tentunya pemeriksaan ini belum berkembang
di Indonesia dan biayanya cukup tinggi.
2.
Faktor Maternal
a.
Faktor endrokin
Beberapa gangguan endokrin telah
terlibat dalam abortus spontan berulang, termasuk diantaranya adalah diabetes
mellitus tak terkontrol, hipo dan hipertiroid, hipersekresi luteinezing
hormone, disfungsi fase luteal dan penyakit polikistik ovarium. Pada
perkembangan terbaru peranan hiperandrogenemia dan hiperprolaktinemia telah
dihubungkan dengan terjadinya abortus yang berulang.
b.
Faktor anatomi
Anomali
uterus termasuk malformasi kongenital, defek uterus yang didapat (Astherman’s
syndrome dan defek sekunder terhadap dietilestilbestrol), leiomyoma,
inkompentensia serviks. Meskipun anomali-anomali ini sering dihubungkan dengan
abortus spontan, insiden, klasifikasi dan peranannya dalam etiologi masih belum
diketahui secara pasti. Abnormalitas uterus terjadi pada 1,9 % dalam populasi
wanita, dan 13 sampai 30 % wanita dengan abortus spontan berulang. Penelitian
lain menunjukkan bahwa wanita dengan anomali didapat seperti Asherman’s
syndrome, adhesi uterus, dan anomali didapat melalui paparan dietilestilbestrol
memiliki angka kemungkinan hidup fetus yang lebih rendah dan meningkatnya angka
kejadian abortus spontan.
c.
Faktor Immunologi
Pada
kehamilan normal, sistem imun maternal tidak bereaksi terhadap spermatozoa atau
embrio. Namun 40% pada abortus berulang diperkirakan secara immunologis
kehadiran fetus tidak dapat diterima. Terdapat antibodikardiolipid yang
mengakibatkan pembekuan darah dibelakang ari-ari sehingga mengakibatkan
kematian janin karena kurangnya aliran darah dari ari-ari tersebut.Respon imun
dapat dipicu oleh beragam faktor endogen dan eksogen, termasuk pembentukan
antibodi antiparental, gangguan autoimun yang mengarah pada pembentukan
antibodi autoimun (antibodi antifosfolipid, antibodi antinuclear, aktivasi sel B
poliklonal), infeksi, bahan-bahan toksik, dan stress.
d.
Trombofilia
Trombofilia
merupakan keadaan hiperkoagulasi yang berhubungan dengan predisposisi terhadap
trombolitik. Kehamilan akan mengawali keadaan hiperkoagulasi dan melibatkan
keseimbangan antara jalur prekoagulan dan antikoagulan. Trombofilia dapat
merupakan kelainan yang herediter atau didapat. Terdapat hubungan antara
antibodi antifosfolipid yang dapat dan abortus berulang dan semacam terapi dan
kombinasi terapi yang melibatkan heparin dan aspirin telah direkomendasikan
untuk menyokong pemeliharaan kehamilan sampai persalinan. Pada sindrom
antifosfolipid, antibodi antifosfolipid mempunyai hubungan dengan kejadian
trombosis vena, trombosis arteri, abortus atau trombositopenia. Namun,
mekanisme pasti yang menyebabkan antibodi antifosfolipid mengarah ke trombosis
masih belum diketahui.
e.
Infeksi
Infeksi-infeksi
maternal yang memperlihatkan hubungan yang jelas dengan abortus spontan
termasuk sifilis, parvovirus B19, HIV, dan malaria. Brusellosis, suatu penyakit
zoonosis yang paling sering menginfeksi manusia melalui produk susu yang tidak
dipasteurisasi juga dapat menyebabkan abortus spontan. Suatu penelitian
retrospektif terbaru di Saudi Arabia menemukan bahwa hampir separuh (43%)
wanita hamil yang didiagnosa menderita brusellosis akut pada awal kehamilannya
mengalami abortus spontan pada trimester pertama atau kedua kehamilannya.
f.
Faktor-faktor eksogen
1.
Gas anestesi
Nitrat
oksida dan gas-gas anestesi lain diyakini sebagai faktor resiko untuk
terjadinya abortus spontan. Pada suatu tinjauan oleh Tanenbaum dkk, wanita yang
bekerja di kamar operasi sebelum dan selama kehamilan mempunyai kecenderungan
1,5 sampai 2 kali untuk mengalami abortus spontan.
2.
Air yang tercemar
Beberapa
penelitian epidemiologi telah mendapatkan data dari fasilitas-fasilitas air di
daerah perkotaan untuk mengetahui paparan lingkungan. Suatu penelitian
prospektif di California menemukan hubungan bermakna antara resiko abortus
spontan pada wanita yang terpapar trihalometana dan terhadap salah satu
turunannya, bromodikhlorometana. Demikian juga wanita yang tinggal di daerah
Santa Clara, daerah dengan kadar bromida pada air permukaan paling tinggi
tersebut, memiliki resiko 4 kali lebih tinggi untuk mengalami abortus spontan.
3.
Dioxin
Dioxin telah
terbukti menyebabkan kanker pada manusia dan binatang, dan menyebabkan anomali
reproduksi pada binatang. Beberapa penelitian pada manusia menunjukkan hubungan
antara dioxin dan abortus spontan. Pada akhir tahun 1990, dioxin ditemukan di
dalam air tanah, air minum, di kota Chapaevsk Rusia. Kadar dioxin dalam air
minum pada kota itu merupakan kadar dioxin tertinggi yang ditemukan di Rusia,
dan ternyata frekuensi rata-rata abortus spontan pada kota tersebut didapatkan
lebih tinggi dari kota-kota yang lain.
4.
Pestisida
Resiko
abortus spontan telah diteliti pada sejumlah kelompok pekerja yang menggunakan
pestisida. Suatu peningkatan prevalensi abortus spontan terlihat pada
istri-istri pekerja yang menggunakan pestisida di Italia, India, dan Amerika
Serikat, pekerja rumah hijau di Kolombia dan Spanyol, pekerja kebun di
Argentina, Petani tebu di Ukraina, dan wanita yang terlibat di bidang
agrikultural di Amerika Serikat dan Finlandia. Suatu peningkatan prevalensi
abortus yang terlambat telah diamati juga di antara wanita peternakan di
Norwegia, dan pekerja agrikultur atau holtikultural di Kanada.
g.
Gaya hidup seperti merokok dan
alkoholisme
Penelitian
epidemiologi mengenai merokok tembakau dan abortus spontan menemukan bahwa
merokok tembakau dapat sedikit meningkatkan resiko untuk terjadinya abortus
spontan. Namun, hubungan antara merokok dan abortus spontan tergantung pada
faktor-faktor lain termasuk konsumsi alkohol, perjalanan reproduksi, waktu
gestasi untuk abortus spontan, kariotipe fetal, dan status sosioekonomi.
Peningkatan angka kejadian abortus spontan pada wanita alkoholik mungkin
berhubungan dengan akibat tak langsung dari gangguan terkait alkoholisme.
h.
Radiasi
Radiasi
ionisasi dikenal menyebabkan gangguan hasil reproduksi, termasuk malformasi
kongenital, restriksi pertumbuhan intrauterine, dan kematian embrio. Pada tahun
1990, komisi satu internasional terhadap perlindungan radiasi menyarankan untuk
wanita dengan konsepsi tidak terpapar lebih dari 5 msv selama kehamilan.
Penelitian-penelitian mengenai kontaminasi radioaktif memperlihatkan akibat
Chernobly yang meningkatkan angka kejadian abortus spontan di Finlandia dan
Norwegia.
i.
Penyakit-penyakit kronis yang
melemahkan
Pada awal
kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu, misalnya
penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus;
sebaliknya pasien penyakit tersebut sering meninggal dunia tanpa
melahirkan.Adanya penyakit kronis (diabetes melitus, hipertensi kronis, penyakit
liver/ ginjal kronis) dapat diketahui lebih mendalam melalui anamnesa yang
baik. Penting juga diketahui bagaimana perjalanan penyakitnya jika memang
pernah menderita infeksi berat, seperti apakah telah diterapi dengan tepat dan
adekuat. Untuk eksplorasi kausa, dapat dikerjakan beberapa pemeriksaan
laboratorium seperti pemeriksaan gula darah, tes fungsi hati dan tes fungsi
ginjal untuk menilai apakah ada gangguan fungsi hepar dan ginjal atau diabetes
melitus yang kemudian dapat menimbulkan gangguan pada kehamilan seperti
persalinan prematur.
j.
Faktor Nutrisi
Malnutrisi
umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling besar menjadi predisposisi
abortus. Meskipun demikian, belum ditemukan bukti yang menyatakan bahwa
defisisensi salah satu/ semua nutrien dalam makanan merupakan suatu penyebab
abortus yang penting.
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan (Ratna,dkk : 2010) yang dilaksanakan di RSUD
Kabupaten Cilacap angka kejadian abortus spontan cukup tinggi. Berdasarkan
survei awal yang dilakukan peneliti diperoleh data pada tahun 2004 kasus
abortus spontan sebanyak 149 kasus, tahun 2005 sebanyak 103 kasus, tahun 2006
sebanyak 300 kasus, tahun 2007 sebanyak 215 kasus dan terakhir sampai bulan
April sebanyak 71 kasus. Dari kejadian abortus spontan pada bulan april tahun
2008 sebanyak 71 kasus didapatkan data bahwa dari 71 kasus didapatkan data ibu
pasca abortus sebanyak 11 orang diantaranya mengalami gangguan kejiwaan yang
disebut dengan sindroma pasca abortus. Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang ”Eksplorasi Perasaan Ibu
Menyebabkan Terjadinya Stres Pasca Abortus Spontan di RSUD Kabupaten Cilacap”.
Dengan
cara mengeksplorasi perasaan ibu yang mengalami stres pasca abortus spontan,
dengan unsur-unsur pokok yang harus ditemukan sesuai dengan butir-butir rumusan
masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, maka digunakan metode deskriptif
kualitatif yaitu proses berfikir yang dimulai dari data yang dikumpulkan
kemudian diambil kesimpulan secara umum. Penelitian ini dilaksanakan pada
tanggal 1 November-30 Desember 2008 di empat kecamatan wilayah kerja RSUD
Kabupaten Cilacap, yaitu Kecamatan Gunung Simping, Gumilir, Jeruk legi, dan
Donan. Peneliti memilih wilayah kerja RSUD Kabupaten Cilacap sebagai tempat
penelitian dengan alasan bahwa di wilayah kerja RSUD Kabupaten. Situasi sosial
dalam penelitian ini adalah warga Kabupaten Cilacap yang masuk dalam wilayah
kerja RSUD Kabupaten Cilacap. Partisipan di dalam penelitian ini adalah ibu
yang mengalami stres pasca abortus spontan dari masing-masing partisipan di
wilayah kerja RSUD Kabupaten Cilacap.
Hasil
wawancara dari partisipan 1, 2, 3 dan 4 menyatakan bahwa mereka memiliki rahim
yang lemah sehingga menyebabkan abortus spontan. Rahim lemah dapat menyebabkan
abortus berulang, ibu bisa hamil namun dapat menyebabkan abortus berulang.
Banyak wanita yang khawatir setelah megalami keguguran karena rahim yang lemah,
apalagi bila ibu hamil lagi ibu berarti harus istirahat total. Apabila tidak
menjaga kehamilan maka dapat menyebabkan keguguran yang berulang. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Gunawan (2008) yang mengemukakan bahwa rahim yang
terlalu lemah tidak mampu menahan berat janin yang sedang berkembang. Kehamilan
seperti ini biasanya hanya mampu bertahan sampai akhir trimester pertama saja,
dan kemudian janin akan keluar.
Secara
umum, dikatakan bahwa status ekonomi yang rendah pada seseorang menyebabkan
orang tersebut mudah mengalami stres yang lebih berat. Salah faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya stres adalah stresor psikososial, yang termasuk
stresor kronik adalah ekonomi yang rendah. Faktor yang melatarbelakangi adanya
hubungan yang bermakna antara stres dengan status ekonomi pada pasien pasca
abortus dalam penelitian ini karena mereka siap menghadapi kehamilan, tetapi
mereka tidak siap dengan risiko yang mungkin dialami pada proses kehamilan
dengan kondisi keuangan yang dimilikinya sekarang. Berdasarkan hasil wawancara
tentang tingkat ekonomi partisipan. Hasil wawancara dari ketiga partisipan di
atas menyatakan bahwa partisipan yang mengalami abortus spontan sedang memasuki
usia kehamilan antara usia 3-4 bulan.
Berikut adalah penyebab terjadinya abortus spontan.
a. Gangguan
pada Perkembangan Zigot
Adanya
kelainan perkembangan zigot, mudigah, janin dini, atau kadang - kadang plasenta
menjadi salah satu faktor yang meinyebabkan dilakukannya abortus. Tiga perempat
dari aborsi aneuploidi terjadi sebelum 8 minggu. Pada abortus spontan 50- 60%
penyebab utama adalah kelainan kromosom pada janin.
b. Faktor
kesehatan ibu
Pada
kehamilan dini penyakit kronis yang melemahkan seperti tuberkulosis
atau
karsinomatosis jarang menyebabkan abortus karena penderita seringkali
meninggal
sebelum melahirkan. Hipertensi jarang menyebabkan abortus, tetapi dapat menyebabkan
kematian janin dan persalinan prematur. Abortus spontan secara independent
berkaitan dengan antibodi virus imunodefisiensi manusia tipe 1(HIV-1) pada ibu.
Selain itu terdapat bukti yang mendukung peran Myccoplasma hominis dan Ureaplasma
urealyticum dalam abortus. Infeksi kronis oleh organisme seperti Brucella
abortus, Campylobacter fetus, Toxoplasma gondii, Listeriamonocytogenenes
atau Clamydia trachomatis belum terbukti berkaitan dengan aborsi spontan
(Chalik, 1998).
Terdapat
hubungan nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun,
misalnya pada
sistemik lupus eritematosus (SLE) dan antiphospolipid antibodi(aPA). aPA
merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Sebagian
kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. Hipotiroidisme klinis tidak
berkaitan dengan peningkatan insiden abortus. Akan tetapi wanita dengan
Hipotiroidime subklinis dan dengan autoantibodi tiroid mungkin memperlihatkan
peningkatan resiko. Abortus spontan dan malforasi kongenital mayor meningkat
pada wanita diabetes tergantung insulin, dan risiko ini berkaitan dengan derajat pengendalian
metabolik (Cunningham dkk, 1991).
c. Faktor
sperma
Sperma yang mengalami translokasi
kromosom apabila berhasil menembus zona pellusida dari ovum akan menghasilkan
zigot yang memiliki material kromosom yang tidak normal yang bisa menyebabkan
keguguran. Jika pad analisis sperma terdapat lebih dari 50% spermatozoa yang
berkepala abnormal, keguguran juga meningkat (Royston,Armstrong,1994).
d. Faktor
lingkungan
Dalam dosis memadai radiasi adalah
suatu abortifasien, bukti bukti yang ada sekarang menyatakan bahwa tidak
ada peningkatan risiko abortus dari dosis radiasi kurang dari 5 rad.
Diperkirakan 1-10% malforasi janin diakibatkan karena paparan obat, bahan
kimia, dan radiasi dan berakhir dengan abortus. Contohnya adalah paparan
terhadap buangan gas anestesi dan tembakau,begitu juga dengan paparan rokok
yang mengandung banyak zat kimia yang mempunyai efe vasoaktif yang berakibat
abortus (Prawirohardjo, 1994).
e. Umur
Usia mempengaruhi angka kejadian
abortus yaitu pada usia 20 tahun dan diatas 35 tahun, kurun waktu reproduksi
sehat adalah 20-30 tahun dan keguguran dapat terjadi pada usia muda, karena
pada usia muda/remaja, alat reproduksibelum matang dan belum siap untuk hamil.
Separuh dari abortus terjadi karena kelinan sitogenik pada trimester pertama
berupa trisomi autosom. Trisomi timbul karena nondisjunction meiosis
selama gametosis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia.
f. Laparotomi
Pada umumnya makin dekat tempat
operasi dengan organ pelvis, makin besar kemungkinan untuk mengalami abortus.
Trauma laparotomi terkadang menyebabkan abortus. Peritonitis meningkatkan
kemungkinan terjadinya abortus
(Macdonald
dkk,1991).
g. Pendidikan
Pengetahuan yang dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan merupakan faktor pencetus yang berperan mempengaruhi
keputusan seseorang berperilaku sehat. Kurangnya pengetahuan mengenai
ketersediaan alat kontrasepsi yang mencegah kehamilan juga pelayanan keluarga
berencana yang dapat menekan jumlah anak maka wanita akan terpaksa mengakhiri
kehamilan yang yang tidak diinginkan dengan abortus (Bensondkk, 2008). Menurut
studi analisis di 3 klinik oleh Jakarta Population Council (1997-1998) terdapat
kasus abortus 58,1% berpendidikan SLTA, 19,1 % perguruan tinggi, 10,2% SLTP,
8,2% SD, dan 0,4% buta huruf.
Menurut
(Ratna,dkk:2013) abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya
manipulasi dari luar baik dengan obat-obatan maupun dengan alat, abortus
terjadi tanpa disengaja, penyebab yang biasa terjadi pada abortus spontan yaitu
pada ibu dengan trauma kehamilan ataupun keadaan patologis lain misalnya rahim
yang lemah, namun sering kali abortus spontan tidak mempunyai sebab yang jelas.
Trauma kehamilan terhadap penyebab yang berasal dari luar atau eksternal yaitu
diantaranya adalah seperti jatuh, kecelakaan, atau terpleset. Pekerjaan ibu
yang terlalu berat dan menggunakan energi besar dapat memicu terjadinya
keguguran pada kehamilan ibu.
Hasil
wawancara dari partisipan 1, 3, dan 5 menyatakan bahwa mereka mengalami trauma
pada saat hamil yang menyebabkan abortus spontan. Masa kehamilan trimester
pertama merupakan masa yang rawan bagi wanita hamil. Karena pada masa ini
merupakan awal pembentukan organ, sehingga kondisinya masih sangat lemah.
Wanita hamil tetap bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya saja, ia harus
mengukur diri. Jika tiba-tiba kondisi turun harus segera beristirahat sejenak
dan jangan terlalu dipaksakan, terutama di masa kehamilan trimester pertama.
Dilihat
dari pekerjaan menunjukkan bahwa partisipan adalah ibu yang mengalami abortus
dengan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang mana pekerjaan itu adalah
pekerjaan yang memerlukan tenaga yang banyak. Kurangnya istirahat dapat
menyebabkan kontraksi. Kontraksi ini adalah terbukanya mulut rahim yang
menyebabkan terjadinya pendarahan dan bisa menyebabkan keguguran. Hal ini
sesuai pendapat Kinney (2008) bahwa penyebab terjadinya abortus spontan salah
satunya karena adanya trauma mekanis atau fisik, sehingga aktivitas yang
menggunakan tenaga berat rentan terhadap terjadinya abortus spontan. Wanita
bekerja disebabkan aktivitas dan stres yang tinggi sebab di samping bekerja,
mereka juga harus melaksanakan tugas sehari-hari mengurus rumah tangga.
Adakalanya, proses pembentukan rahim tidak berlangsung mulus. Maka, terjadilah
beberapa kelainan rahim. Akibatnya sejumlah wanita mengalami masalah kehamilan.
Rahim
adalah tempat janin dibesarkan. Penyebab dengan bentuk patologis rahim yaitu
keadaan rahim yang terlalu lemah, merupakan kelainan bawaan dari wanita
tersebut. Gangguan fungsi dan pertumbuhan lapisan dalam rahim (endometrium),
menyebabkan gangguan penempelan calon janin di dalam rahim atau gangguan dalam
pertumbuhan calon janin, sehingga tidak mampu menahan berat janin yang sedang
berkembang. Kehamilan seperti ini biasanya hanya mampu bertahan sampai akhir
semester pertama saja. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan 1, 2, 3, dan
4.
Hasil
wawancara dari partisipan 1, 2, 3 dan 4 menyatakan bahwa mereka memiliki rahim
yang lemah sehingga menyebabkan abortus spontan. Rahim lemah dapat menyebabkan
abortus berulang, ibu bisa hamil namun dapat menyebabkan abortus berulang.
Banyak wanita yang khawatir setelah megalami keguguran karena rahim yang lemah,
apalagi bila ibu hamil lagi ibu berarti harus istirahat total. Apabila tidak
menjaga kehamilan maka dapat menyebabkan keguguran yang berulang. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Gunawan (2008) yang mengemukakan bahwa rahim yang
terlalu lemah tidak mampu menahan berat janin yang sedang berkembang. Kehamilan
seperti ini biasanya hanya mampu bertahan sampai akhir trimester pertama saja,
dan kemudian janin akan keluar.
Secara
umum, dikatakan bahwa status ekonomi yang rendah pada seseorang menyebabkan
orang tersebut mudah mengalami stres yang lebih berat. Salah faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya stres adalah stresor psikososial, yang termasuk
stresor kronik adalah ekonomi yang rendah. Faktor yang melatarbelakangi adanya
hubungan yang bermakna antara stres dengan status ekonomi pada pasien pasca
abortus dalam penelitian ini karena mereka siap menghadapi kehamilan, tetapi
mereka tidak siap dengan risiko yang mungkin dialami pada proses kehamilan dengan
kondisi keuangan yang dimilikinya sekarang. Berdasarkan hasil wawancara tentang
tingkat ekonomi partisipan.
Berdasarkan
hasil wawancara dari seluruh partisipan 1, 2, 3, 4 dan 5 menyatakan bahwa
mereka menyampaikan informasi tentang tingkat ekonomi didapatkan hasil yaitu
pendapatan keluarga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan selalu
kurang (partisipan 1, 2, 3, 4, dan 5). Hal ini memungkinkan apabila terdapat
kebutuhan yang mendadak (kebutuhan untuk biaya aborsi), seseorang menjadi lebih
mudah cemas dan stres yaitu dalam hal mendapatkan uang untuk jangka waktu yang
cepat. Hal ini semakin diperkuat dengan pendapat Bharoto (2008), status ekonomi
yang rendah menyebabkan seseorang tersebut mengalami stres yang lebih berat.
Pendapat Bharoto juga didukung oleh pendapat Prawirohusodo (1998), faktor yang
berpengaruh terhadap stres adalah stresor psikososial, yang termasuk dalam
stresor kronik adalah kemelaratan.
Faktor
yang melatarbelakangi adanya hubungan yang bermakna antara stres dengan status
ekonomi pada pasien pasca abortus spontan dalam penelitian ini karena mereka
siap menghadapi kehamilan tetapi tidak siap menghadapi resiko yang mungkin
dialami pada proses kehamilan ini karena dengan kondisi keuangan yang
dimilikinya sekarang. Kesimpulan ini didukung pendapat Hadad (1998) yang
menyatakan bahwa penggolongan status ekonomi berdasarkan tingkat penghasilan
tergantung dimana orang itu tinggal. Hasil observasi diketahui bahwa partisipan
yang melakukan abortus di RSUD Kabupaten Cilacap adalah penduduk sekitar daerah
Cilacap di mana diketahui bahwa biaya hidup untuk kebutuhan sehari-hari relatif
lebih mahal yang hampir sama dengan kota besar lainnya. Dengan pengahasilan
yang rendah ini mereka tidak bisa mencukupi dan memenuhi kebutuhan hidup dengan
layak yang mengakibatkan faktor ekonomi menjadi salah satu hal yang mendasari
terjadinya stres.
Hasil
wawancara dari ketiga partisipan di atas menyatakan bahwa partisipan yang
mengalami abortus spontan sedang memasuki usia kehamilan antara usia 3-4 bulan.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian abortus paling banyak dialami
pada usia kehamilan timester 1 (di bawah 12 minggu) yaitu sebanyak 4 orang
partisipan. Dapat diambil kesimpulan bahwa usia kehamilan berpengaruh pada
stres pada pasien pasca abortus spontan. Masa kehamilan trisemester pertama
merupakan masa yang rawan bagi wanita hamil, karena merupakan awal pembentukan
organ, sehingga kondisinya masih sangat lemah. Hal ini memberikan gambaran
bahwa pada usia kehamilan ini rawan terjadi abortus spontan, hal ini diperkuat
dengan pendapat Potter & Perry (2005) yang menyatakan bahwa pada trimester
pertama yaitu tiga bulan kalender sel janin terus berdiferensiasi dan
berkembang kedalam sel organ yang penting, dan setiap organ amat sangat rapuh
terhadap gangguan dari lingkungan, dan pada trimester ini mudah terpajan oleh
teratogen yang salah satunya dapat menyebabkan abortus spontan. Pada masa ini
terjadi pertumbuhan dan perkembangan janin, di mana pada usia 10-12 minggu
korion mulai tumbuh dengan cepat dan hubungan antara villi korialis makin
erat (Sastrawinata, 2005). Kondisi ini mengakibatkan semakin eratnya jalinan
kedekatan antar janin dengan ibunya, lebih lagi jika janin tersebut makin besar
maka janin akan semakin bisa merasakan apa yang ibunya rasa. Hal ini juga
dikemukakan oleh partisipan 4 yang mengalami abortus spontan pada usia
kehamilan trimester kedua.
B. Faktor
yang menyebabkan terjadinya stres pasca abortus spontan
Menurut
(Ratna,dkk:2013) abortus merupakan stresor psikososial yang dapat menimbulkan
stres kehidupan. Stres yang diakibatkan oleh ibu pasca abortus spontan, akan
menyebabkan kondisi dimana ibu mengalami penuh ketegangan dan tekanan setelah
melakukan abortus spontan yang responnya dimanifestasikan secara fisik, emosi,
kognitif, dan perubahan perilaku. Faktor-faktor yang menyebabkan stres pada ibu
pasca abortus spontan yang akan dibahas pada penelitian ini antara lain: usia,
penyebab keguguran, tingkat ekonomi, usia kehamilan, status kehamilan:
a. Usia
yang semakin menua
Abortus
pada usia yang tua akan terasa sangat berat oleh ibu pasca abortus spontan,
karena dapat menimbulkan risiko atau bahaya kehamilan. Risiko keguguran memang
semakin bertambah seiring dengan pertambahan umur. Usia yang tua akan
mengalami kesulitan untuk memiliki keturunan, dibanding usia muda atau usia
subur lebih mudah untuk mendapatkan keturunan. Kemunduran fungsi merupakan
salah satu akibat proses menua Dimana organ reproduksi dan kondisi rahim pada
usia subur masih sangat mendukung. Pada wanita Usia tua yang mana wanita akan
megalami masa menopause, apabila menopause wanita tidak memiliki kesempatan
lagi untuk memiliki keturunan. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan
berikut ini.
Berdasarkan
hasil penelitian (Ratna,dkk:2013) dari hasil wawancara dari seluruh partisipan
1, 2, 3, 4, dan 5 menyatakan bahwa mereka sangat takut terhadap usia mereka
yang semakin menua karena semakin berisiko apabila mereka hamil. Biasanya
menikah pada usia dewasa, dimana harapan untuk memiliki anak pada masa awal
pernikahan sangat tinggi, dan muncul kekhawatiran pada kehamilan dikarenakan
telah mendekati atau bahkan telah masuk usia rawan bagi ibu untuk melahirkan.
Ketakutan itu akan semakin bertambah ketika mereka berfikir tentang umur
semakin tua pasti sulit untuk memiliki anak lagi. Mereka berfikir seperti itu
karena didukung dengan kenyataan terhadap orang-orang yang memiliki pengalaman
hidup seperti itu. Mereka takut jika hal itu juga akan menimpa mereka. Padahal,
rasa takut yang berlebihan dapat melemahkan seseorang secara psikis yang
akhirnya dapat menurunkan kekebalan tubuh atau daya immunitas yang secara
alamiah ada dalam tubuh (Lutfi, 2008). Proses menjadi tua merupakan proses yang
terjadi di dalam tubuh yang berjalan perlahan-lahan tapi pasti, dimana terjadi
penurunan fungsi tubuh secara berangsur. Penurunan fungsi ini meliputi anatomi,
biokimiawi, keseimbangan hormonal dan lain-lain. Wanita yang hamil di usia
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 30 tahun ketika hamil anak pertama
memiliki resiko kehamilan yang cukup tinggi.
Penyebab abortus spontan
4/
5
Oleh
Unknown