Selasa, 29 November 2016

Penyebab abortus spontan

    Penyebab abortus spontan
Menurut Oxorn, H dan William RF. 1996 penyebab abortus adalah sebagai berikut:
1.      Faktor Fetal
Penyebab yang paling sering menimbulkan abortus spontan adalah abnormalitas kromosom pada janin. Sekitar 2/3 dari abortus spontan pada trimester pertama merupakan anomali kromosom dengan ½ dari jumlah tersebut adalah trisomi autosom dan sebagian lagi merupakan triploid, tetraploid, atau monosomi 45x. Sekitar 5 % abortus terjadi karena faktor genetik. Paling sering ditemukannya kromosom trisomi dengan trisomi 16.
Lebih dari 60% abortus spontan yang terjadi pada trimester pertama menunjukkan beberapa tipe abnormalitas genetik. Abnormalitas genetik yang paling sering terjadi adalah aneuploidi (abnormalitas komposisi kromosom) contohnya trisomi autosom yang menyebabkan lebih dari 50% abortus spontan. Poliploidi menyebabkan sekitar 22% dari abortus spontan yang terjadi akibat kelainan kromosom. Sekitar 3-5% pasangan yang memiliki riwayat abortus spontan yang berulang salah satu dari pasangan tersebut membawa sifat kromosom yang abnormal. Identifikasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kariotipe dimana bahan pemeriksaan diambil dari darah tepi pasangan tersebut. Tetapi tentunya pemeriksaan ini belum berkembang di Indonesia dan biayanya cukup tinggi.
2.      Faktor Maternal
a.       Faktor endrokin
Beberapa gangguan endokrin telah terlibat dalam abortus spontan berulang, termasuk diantaranya adalah diabetes mellitus tak terkontrol, hipo dan hipertiroid, hipersekresi luteinezing hormone, disfungsi fase luteal dan penyakit polikistik ovarium. Pada perkembangan terbaru peranan hiperandrogenemia dan hiperprolaktinemia telah dihubungkan dengan terjadinya abortus yang berulang.
b.      Faktor anatomi
Anomali uterus termasuk malformasi kongenital, defek uterus yang didapat (Astherman’s syndrome dan defek sekunder terhadap dietilestilbestrol), leiomyoma, inkompentensia serviks. Meskipun anomali-anomali ini sering dihubungkan dengan abortus spontan, insiden, klasifikasi dan peranannya dalam etiologi masih belum diketahui secara pasti. Abnormalitas uterus terjadi pada 1,9 % dalam populasi wanita, dan 13 sampai 30 % wanita dengan abortus spontan berulang. Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita dengan anomali didapat seperti Asherman’s syndrome, adhesi uterus, dan anomali didapat melalui paparan dietilestilbestrol memiliki angka kemungkinan hidup fetus yang lebih rendah dan meningkatnya angka kejadian abortus spontan.
c.       Faktor Immunologi
Pada kehamilan normal, sistem imun maternal tidak bereaksi terhadap spermatozoa atau embrio. Namun 40% pada abortus berulang diperkirakan secara immunologis kehadiran fetus tidak dapat diterima. Terdapat antibodikardiolipid yang mengakibatkan pembekuan darah dibelakang ari-ari sehingga mengakibatkan kematian janin karena kurangnya aliran darah dari ari-ari tersebut.Respon imun dapat dipicu oleh beragam faktor endogen dan eksogen, termasuk pembentukan antibodi antiparental, gangguan autoimun yang mengarah pada pembentukan antibodi autoimun (antibodi antifosfolipid, antibodi antinuclear, aktivasi sel B poliklonal), infeksi, bahan-bahan toksik, dan stress.
d.       Trombofilia
Trombofilia merupakan keadaan hiperkoagulasi yang berhubungan dengan predisposisi terhadap trombolitik. Kehamilan akan mengawali keadaan hiperkoagulasi dan melibatkan keseimbangan antara jalur prekoagulan dan antikoagulan. Trombofilia dapat merupakan kelainan yang herediter atau didapat. Terdapat hubungan antara antibodi antifosfolipid yang dapat dan abortus berulang dan semacam terapi dan kombinasi terapi yang melibatkan heparin dan aspirin telah direkomendasikan untuk menyokong pemeliharaan kehamilan sampai persalinan. Pada sindrom antifosfolipid, antibodi antifosfolipid mempunyai hubungan dengan kejadian trombosis vena, trombosis arteri, abortus atau trombositopenia. Namun, mekanisme pasti yang menyebabkan antibodi antifosfolipid mengarah ke trombosis masih belum diketahui.
e.        Infeksi
Infeksi-infeksi maternal yang memperlihatkan hubungan yang jelas dengan abortus spontan termasuk sifilis, parvovirus B19, HIV, dan malaria. Brusellosis, suatu penyakit zoonosis yang paling sering menginfeksi manusia melalui produk susu yang tidak dipasteurisasi juga dapat menyebabkan abortus spontan. Suatu penelitian retrospektif terbaru di Saudi Arabia menemukan bahwa hampir separuh (43%) wanita hamil yang didiagnosa menderita brusellosis akut pada awal kehamilannya mengalami abortus spontan pada trimester pertama atau kedua kehamilannya.
f.       Faktor-faktor eksogen
1.        Gas anestesi
Nitrat oksida dan gas-gas anestesi lain diyakini sebagai faktor resiko untuk terjadinya abortus spontan. Pada suatu tinjauan oleh Tanenbaum dkk, wanita yang bekerja di kamar operasi sebelum dan selama kehamilan mempunyai kecenderungan 1,5 sampai 2 kali untuk mengalami abortus spontan.


2.      Air yang tercemar
Beberapa penelitian epidemiologi telah mendapatkan data dari fasilitas-fasilitas air di daerah perkotaan untuk mengetahui paparan lingkungan. Suatu penelitian prospektif di California menemukan hubungan bermakna antara resiko abortus spontan pada wanita yang terpapar trihalometana dan terhadap salah satu turunannya, bromodikhlorometana. Demikian juga wanita yang tinggal di daerah Santa Clara, daerah dengan kadar bromida pada air permukaan paling tinggi tersebut, memiliki resiko 4 kali lebih tinggi untuk mengalami abortus spontan.

3.      Dioxin
Dioxin telah terbukti menyebabkan kanker pada manusia dan binatang, dan menyebabkan anomali reproduksi pada binatang. Beberapa penelitian pada manusia menunjukkan hubungan antara dioxin dan abortus spontan. Pada akhir tahun 1990, dioxin ditemukan di dalam air tanah, air minum, di kota Chapaevsk Rusia. Kadar dioxin dalam air minum pada kota itu merupakan kadar dioxin tertinggi yang ditemukan di Rusia, dan ternyata frekuensi rata-rata abortus spontan pada kota tersebut didapatkan lebih tinggi dari kota-kota yang lain.


4.      Pestisida
Resiko abortus spontan telah diteliti pada sejumlah kelompok pekerja yang menggunakan pestisida. Suatu peningkatan prevalensi abortus spontan terlihat pada istri-istri pekerja yang menggunakan pestisida di Italia, India, dan Amerika Serikat, pekerja rumah hijau di Kolombia dan Spanyol, pekerja kebun di Argentina, Petani tebu di Ukraina, dan wanita yang terlibat di bidang agrikultural di Amerika Serikat dan Finlandia. Suatu peningkatan prevalensi abortus yang terlambat telah diamati juga di antara wanita peternakan di Norwegia, dan pekerja agrikultur atau holtikultural di Kanada.
g.      Gaya hidup seperti merokok dan alkoholisme
Penelitian epidemiologi mengenai merokok tembakau dan abortus spontan menemukan bahwa merokok tembakau dapat sedikit meningkatkan resiko untuk terjadinya abortus spontan. Namun, hubungan antara merokok dan abortus spontan tergantung pada faktor-faktor lain termasuk konsumsi alkohol, perjalanan reproduksi, waktu gestasi untuk abortus spontan, kariotipe fetal, dan status sosioekonomi. Peningkatan angka kejadian abortus spontan pada wanita alkoholik mungkin berhubungan dengan akibat tak langsung dari gangguan terkait alkoholisme.

h.      Radiasi
Radiasi ionisasi dikenal menyebabkan gangguan hasil reproduksi, termasuk malformasi kongenital, restriksi pertumbuhan intrauterine, dan kematian embrio. Pada tahun 1990, komisi satu internasional terhadap perlindungan radiasi menyarankan untuk wanita dengan konsepsi tidak terpapar lebih dari 5 msv selama kehamilan. Penelitian-penelitian mengenai kontaminasi radioaktif memperlihatkan akibat Chernobly yang meningkatkan angka kejadian abortus spontan di Finlandia dan Norwegia.
i.        Penyakit-penyakit kronis yang melemahkan
Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu, misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus; sebaliknya pasien penyakit tersebut sering meninggal dunia tanpa melahirkan.Adanya penyakit kronis (diabetes melitus, hipertensi kronis, penyakit liver/ ginjal kronis) dapat diketahui lebih mendalam melalui anamnesa yang baik. Penting juga diketahui bagaimana perjalanan penyakitnya jika memang pernah menderita infeksi berat, seperti apakah telah diterapi dengan tepat dan adekuat. Untuk eksplorasi kausa, dapat dikerjakan beberapa pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan gula darah, tes fungsi hati dan tes fungsi ginjal untuk menilai apakah ada gangguan fungsi hepar dan ginjal atau diabetes melitus yang kemudian dapat menimbulkan gangguan pada kehamilan seperti persalinan prematur.
j.        Faktor Nutrisi
Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling besar menjadi predisposisi abortus. Meskipun demikian, belum ditemukan bukti yang menyatakan bahwa defisisensi salah satu/ semua nutrien dalam makanan merupakan suatu penyebab abortus yang penting.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan (Ratna,dkk : 2010) yang dilaksanakan di RSUD Kabupaten Cilacap angka kejadian abortus spontan cukup tinggi. Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti diperoleh data pada tahun 2004 kasus abortus spontan sebanyak 149 kasus, tahun 2005 sebanyak 103 kasus, tahun 2006 sebanyak 300 kasus, tahun 2007 sebanyak 215 kasus dan terakhir sampai bulan April sebanyak 71 kasus. Dari kejadian abortus spontan pada bulan april tahun 2008 sebanyak 71 kasus didapatkan data bahwa dari 71 kasus didapatkan data ibu pasca abortus sebanyak 11 orang diantaranya mengalami gangguan kejiwaan yang disebut dengan sindroma pasca abortus. Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ”Eksplorasi Perasaan Ibu Menyebabkan Terjadinya Stres Pasca Abortus Spontan di RSUD Kabupaten Cilacap”.
Dengan cara mengeksplorasi perasaan ibu yang mengalami stres pasca abortus spontan, dengan unsur-unsur pokok yang harus ditemukan sesuai dengan butir-butir rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, maka digunakan metode deskriptif kualitatif yaitu proses berfikir yang dimulai dari data yang dikumpulkan kemudian diambil kesimpulan secara umum. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 November-30 Desember 2008 di empat kecamatan wilayah kerja RSUD Kabupaten Cilacap, yaitu Kecamatan Gunung Simping, Gumilir, Jeruk legi, dan Donan. Peneliti memilih wilayah kerja RSUD Kabupaten Cilacap sebagai tempat penelitian dengan alasan bahwa di wilayah kerja RSUD Kabupaten. Situasi sosial dalam penelitian ini adalah warga Kabupaten Cilacap yang masuk dalam wilayah kerja RSUD Kabupaten Cilacap. Partisipan di dalam penelitian ini adalah ibu yang mengalami stres pasca abortus spontan dari masing-masing partisipan di wilayah kerja RSUD Kabupaten Cilacap.
Hasil wawancara dari partisipan 1, 2, 3 dan 4 menyatakan bahwa mereka memiliki rahim yang lemah sehingga menyebabkan abortus spontan. Rahim lemah dapat menyebabkan abortus berulang, ibu bisa hamil namun dapat menyebabkan abortus berulang. Banyak wanita yang khawatir setelah megalami keguguran karena rahim yang lemah, apalagi bila ibu hamil lagi ibu berarti harus istirahat total. Apabila tidak menjaga kehamilan maka dapat menyebabkan keguguran yang berulang. Hal ini diperkuat dengan pendapat Gunawan (2008) yang mengemukakan bahwa rahim yang terlalu lemah tidak mampu menahan berat janin yang sedang berkembang. Kehamilan seperti ini biasanya hanya mampu bertahan sampai akhir trimester pertama saja, dan kemudian janin akan keluar.
Secara umum, dikatakan bahwa status ekonomi yang rendah pada seseorang menyebabkan orang tersebut mudah mengalami stres yang lebih berat. Salah faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya stres adalah stresor psikososial, yang termasuk stresor kronik adalah ekonomi yang rendah. Faktor yang melatarbelakangi adanya hubungan yang bermakna antara stres dengan status ekonomi pada pasien pasca abortus dalam penelitian ini karena mereka siap menghadapi kehamilan, tetapi mereka tidak siap dengan risiko yang mungkin dialami pada proses kehamilan dengan kondisi keuangan yang dimilikinya sekarang. Berdasarkan hasil wawancara tentang tingkat ekonomi partisipan. Hasil wawancara dari ketiga partisipan di atas menyatakan bahwa partisipan yang mengalami abortus spontan sedang memasuki usia kehamilan antara usia 3-4 bulan.
Berikut  adalah penyebab terjadinya abortus spontan.
a.       Gangguan pada Perkembangan Zigot
Adanya kelainan perkembangan zigot, mudigah, janin dini, atau kadang - kadang plasenta menjadi salah satu faktor yang meinyebabkan dilakukannya abortus. Tiga perempat dari aborsi aneuploidi terjadi sebelum 8 minggu. Pada abortus spontan 50- 60% penyebab utama adalah kelainan kromosom pada janin.
b.      Faktor kesehatan ibu
Pada kehamilan dini penyakit kronis yang melemahkan seperti tuberkulosis
atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus karena penderita seringkali
meninggal sebelum melahirkan. Hipertensi jarang menyebabkan abortus, tetapi dapat menyebabkan kematian janin dan persalinan prematur. Abortus spontan secara independent berkaitan dengan antibodi virus imunodefisiensi manusia tipe 1(HIV-1) pada ibu. Selain itu terdapat bukti yang mendukung peran Myccoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum dalam abortus. Infeksi kronis oleh organisme seperti Brucella abortus, Campylobacter fetus, Toxoplasma gondii, Listeriamonocytogenenes atau Clamydia trachomatis belum terbukti berkaitan dengan aborsi spontan (Chalik, 1998).
Terdapat hubungan nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun,
misalnya pada sistemik lupus eritematosus (SLE) dan antiphospolipid antibodi(aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Sebagian kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. Hipotiroidisme klinis tidak berkaitan dengan peningkatan insiden abortus. Akan tetapi wanita dengan Hipotiroidime subklinis dan dengan autoantibodi tiroid mungkin memperlihatkan peningkatan resiko. Abortus spontan dan malforasi kongenital mayor meningkat pada wanita diabetes tergantung insulin, dan risiko ini  berkaitan dengan derajat pengendalian metabolik (Cunningham dkk, 1991).
c.       Faktor sperma
Sperma yang mengalami translokasi kromosom apabila berhasil menembus zona pellusida dari ovum akan menghasilkan zigot yang memiliki material kromosom yang tidak normal yang bisa menyebabkan keguguran. Jika pad analisis sperma terdapat lebih dari 50% spermatozoa yang berkepala abnormal, keguguran juga meningkat (Royston,Armstrong,1994).
d.      Faktor lingkungan
Dalam dosis memadai radiasi adalah suatu abortifasien, bukti bukti yang ada sekarang menyatakan bahwa tidak ada peningkatan risiko abortus dari dosis radiasi kurang dari 5 rad. Diperkirakan 1-10% malforasi janin diakibatkan karena paparan obat, bahan kimia, dan radiasi dan berakhir dengan abortus. Contohnya adalah paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau,begitu juga dengan paparan rokok yang mengandung banyak zat kimia yang mempunyai efe vasoaktif yang berakibat abortus (Prawirohardjo, 1994).
e.       Umur
Usia mempengaruhi angka kejadian abortus yaitu pada usia 20 tahun dan diatas 35 tahun, kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan keguguran dapat terjadi pada usia muda, karena pada usia muda/remaja, alat reproduksibelum matang dan belum siap untuk hamil. Separuh dari abortus terjadi karena kelinan sitogenik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Trisomi timbul karena nondisjunction meiosis selama gametosis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia.
f.       Laparotomi
Pada umumnya makin dekat tempat operasi dengan organ pelvis, makin besar kemungkinan untuk mengalami abortus. Trauma laparotomi terkadang menyebabkan abortus. Peritonitis meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus
(Macdonald dkk,1991).
g.      Pendidikan
Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan faktor pencetus yang berperan mempengaruhi keputusan seseorang berperilaku sehat. Kurangnya pengetahuan mengenai ketersediaan alat kontrasepsi yang mencegah kehamilan juga pelayanan keluarga berencana yang dapat menekan jumlah anak maka wanita akan terpaksa mengakhiri kehamilan yang yang tidak diinginkan dengan abortus (Bensondkk, 2008). Menurut studi analisis di 3 klinik oleh Jakarta Population Council (1997-1998) terdapat kasus abortus 58,1% berpendidikan SLTA, 19,1 % perguruan tinggi, 10,2% SLTP, 8,2% SD, dan 0,4% buta huruf.
Menurut (Ratna,dkk:2013) abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya manipulasi dari luar baik dengan obat-obatan maupun dengan alat, abortus terjadi tanpa disengaja, penyebab yang biasa terjadi pada abortus spontan yaitu pada ibu dengan trauma kehamilan ataupun keadaan patologis lain misalnya rahim yang lemah, namun sering kali abortus spontan tidak mempunyai sebab yang jelas. Trauma kehamilan terhadap penyebab yang berasal dari luar atau eksternal yaitu diantaranya adalah seperti jatuh, kecelakaan, atau terpleset. Pekerjaan ibu yang terlalu berat dan menggunakan energi besar dapat memicu terjadinya keguguran pada kehamilan ibu.
Hasil wawancara dari partisipan 1, 3, dan 5 menyatakan bahwa mereka mengalami trauma pada saat hamil yang menyebabkan abortus spontan. Masa kehamilan trimester pertama merupakan masa yang rawan bagi wanita hamil. Karena pada masa ini merupakan awal pembentukan organ, sehingga kondisinya masih sangat lemah. Wanita hamil tetap bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya saja, ia harus mengukur diri. Jika tiba-tiba kondisi turun harus segera beristirahat sejenak dan jangan terlalu dipaksakan, terutama di masa kehamilan trimester pertama.
Dilihat dari pekerjaan menunjukkan bahwa partisipan adalah ibu yang mengalami abortus dengan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang mana pekerjaan itu adalah pekerjaan yang memerlukan tenaga yang banyak. Kurangnya istirahat dapat menyebabkan kontraksi. Kontraksi ini adalah terbukanya mulut rahim yang menyebabkan terjadinya pendarahan dan bisa menyebabkan keguguran. Hal ini sesuai pendapat Kinney (2008) bahwa penyebab terjadinya abortus spontan salah satunya karena adanya trauma mekanis atau fisik, sehingga aktivitas yang menggunakan tenaga berat rentan terhadap terjadinya abortus spontan. Wanita bekerja disebabkan aktivitas dan stres yang tinggi sebab di samping bekerja, mereka juga harus melaksanakan tugas sehari-hari mengurus rumah tangga. Adakalanya, proses pembentukan rahim tidak berlangsung mulus. Maka, terjadilah beberapa kelainan rahim. Akibatnya sejumlah wanita mengalami masalah kehamilan.
Rahim adalah tempat janin dibesarkan. Penyebab dengan bentuk patologis rahim yaitu keadaan rahim yang terlalu lemah, merupakan kelainan bawaan dari wanita tersebut. Gangguan fungsi dan pertumbuhan lapisan dalam rahim (endometrium), menyebabkan gangguan penempelan calon janin di dalam rahim atau gangguan dalam pertumbuhan calon janin, sehingga tidak mampu menahan berat janin yang sedang berkembang. Kehamilan seperti ini biasanya hanya mampu bertahan sampai akhir semester pertama saja. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan 1, 2, 3, dan 4.
Hasil wawancara dari partisipan 1, 2, 3 dan 4 menyatakan bahwa mereka memiliki rahim yang lemah sehingga menyebabkan abortus spontan. Rahim lemah dapat menyebabkan abortus berulang, ibu bisa hamil namun dapat menyebabkan abortus berulang. Banyak wanita yang khawatir setelah megalami keguguran karena rahim yang lemah, apalagi bila ibu hamil lagi ibu berarti harus istirahat total. Apabila tidak menjaga kehamilan maka dapat menyebabkan keguguran yang berulang. Hal ini diperkuat dengan pendapat Gunawan (2008) yang mengemukakan bahwa rahim yang terlalu lemah tidak mampu menahan berat janin yang sedang berkembang. Kehamilan seperti ini biasanya hanya mampu bertahan sampai akhir trimester pertama saja, dan kemudian janin akan keluar.
Secara umum, dikatakan bahwa status ekonomi yang rendah pada seseorang menyebabkan orang tersebut mudah mengalami stres yang lebih berat. Salah faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya stres adalah stresor psikososial, yang termasuk stresor kronik adalah ekonomi yang rendah. Faktor yang melatarbelakangi adanya hubungan yang bermakna antara stres dengan status ekonomi pada pasien pasca abortus dalam penelitian ini karena mereka siap menghadapi kehamilan, tetapi mereka tidak siap dengan risiko yang mungkin dialami pada proses kehamilan dengan kondisi keuangan yang dimilikinya sekarang. Berdasarkan hasil wawancara tentang tingkat ekonomi partisipan.
Berdasarkan hasil wawancara dari seluruh partisipan 1, 2, 3, 4 dan 5 menyatakan bahwa mereka menyampaikan informasi tentang tingkat ekonomi didapatkan hasil yaitu pendapatan keluarga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan selalu kurang (partisipan 1, 2, 3, 4, dan 5). Hal ini memungkinkan apabila terdapat kebutuhan yang mendadak (kebutuhan untuk biaya aborsi), seseorang menjadi lebih mudah cemas dan stres yaitu dalam hal mendapatkan uang untuk jangka waktu yang cepat. Hal ini semakin diperkuat dengan pendapat Bharoto (2008), status ekonomi yang rendah menyebabkan seseorang tersebut mengalami stres yang lebih berat. Pendapat Bharoto juga didukung oleh pendapat Prawirohusodo (1998), faktor yang berpengaruh terhadap stres adalah stresor psikososial, yang termasuk dalam stresor kronik adalah kemelaratan.
Faktor yang melatarbelakangi adanya hubungan yang bermakna antara stres dengan status ekonomi pada pasien pasca abortus spontan dalam penelitian ini karena mereka siap menghadapi kehamilan tetapi tidak siap menghadapi resiko yang mungkin dialami pada proses kehamilan ini karena dengan kondisi keuangan yang dimilikinya sekarang. Kesimpulan ini didukung pendapat Hadad (1998) yang menyatakan bahwa penggolongan status ekonomi berdasarkan tingkat penghasilan tergantung dimana orang itu tinggal. Hasil observasi diketahui bahwa partisipan yang melakukan abortus di RSUD Kabupaten Cilacap adalah penduduk sekitar daerah Cilacap di mana diketahui bahwa biaya hidup untuk kebutuhan sehari-hari relatif lebih mahal yang hampir sama dengan kota besar lainnya. Dengan pengahasilan yang rendah ini mereka tidak bisa mencukupi dan memenuhi kebutuhan hidup dengan layak yang mengakibatkan faktor ekonomi menjadi salah satu hal yang mendasari terjadinya stres.
Hasil wawancara dari ketiga partisipan di atas menyatakan bahwa partisipan yang mengalami abortus spontan sedang memasuki usia kehamilan antara usia 3-4 bulan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian abortus paling banyak dialami pada usia kehamilan timester 1 (di bawah 12 minggu) yaitu sebanyak 4 orang partisipan. Dapat diambil kesimpulan bahwa usia kehamilan berpengaruh pada stres pada pasien pasca abortus spontan. Masa kehamilan trisemester pertama merupakan masa yang rawan bagi wanita hamil, karena merupakan awal pembentukan organ, sehingga kondisinya masih sangat lemah. Hal ini memberikan gambaran bahwa pada usia kehamilan ini rawan terjadi abortus spontan, hal ini diperkuat dengan pendapat Potter & Perry (2005) yang menyatakan bahwa pada trimester pertama yaitu tiga bulan kalender sel janin terus berdiferensiasi dan berkembang kedalam sel organ yang penting, dan setiap organ amat sangat rapuh terhadap gangguan dari lingkungan, dan pada trimester ini mudah terpajan oleh teratogen yang salah satunya dapat menyebabkan abortus spontan. Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan janin, di mana pada usia 10-12 minggu korion mulai tumbuh dengan cepat dan hubungan antara villi korialis makin erat (Sastrawinata, 2005). Kondisi ini mengakibatkan semakin eratnya jalinan kedekatan antar janin dengan ibunya, lebih lagi jika janin tersebut makin besar maka janin akan semakin bisa merasakan apa yang ibunya rasa. Hal ini juga dikemukakan oleh partisipan 4 yang mengalami abortus spontan pada usia kehamilan trimester kedua.

B.     Faktor yang menyebabkan terjadinya stres pasca abortus spontan
Menurut (Ratna,dkk:2013) abortus merupakan stresor psikososial yang dapat menimbulkan stres kehidupan. Stres yang diakibatkan oleh ibu pasca abortus spontan, akan menyebabkan kondisi dimana ibu mengalami penuh ketegangan dan tekanan setelah melakukan abortus spontan yang responnya dimanifestasikan secara fisik, emosi, kognitif, dan perubahan perilaku. Faktor-faktor yang menyebabkan stres pada ibu pasca abortus spontan yang akan dibahas pada penelitian ini antara lain: usia, penyebab keguguran, tingkat ekonomi, usia kehamilan, status kehamilan:
a.       Usia yang semakin menua
Abortus pada usia yang tua akan terasa sangat berat oleh ibu pasca abortus spontan, karena dapat menimbulkan risiko atau bahaya kehamilan. Risiko keguguran memang semakin bertambah seiring dengan pertambahan umur. Usia yang tua akan mengalami kesulitan untuk memiliki keturunan, dibanding usia muda atau usia subur lebih mudah untuk mendapatkan keturunan. Kemunduran fungsi merupakan salah satu akibat proses menua Dimana organ reproduksi dan kondisi rahim pada usia subur masih sangat mendukung. Pada wanita Usia tua yang mana wanita akan megalami masa menopause, apabila menopause wanita tidak memiliki kesempatan lagi untuk memiliki keturunan. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini.

Berdasarkan hasil penelitian (Ratna,dkk:2013) dari hasil wawancara dari seluruh partisipan 1, 2, 3, 4, dan 5 menyatakan bahwa mereka sangat takut terhadap usia mereka yang semakin menua karena semakin berisiko apabila mereka hamil. Biasanya menikah pada usia dewasa, dimana harapan untuk memiliki anak pada masa awal pernikahan sangat tinggi, dan muncul kekhawatiran pada kehamilan dikarenakan telah mendekati atau bahkan telah masuk usia rawan bagi ibu untuk melahirkan. Ketakutan itu akan semakin bertambah ketika mereka berfikir tentang umur semakin tua pasti sulit untuk memiliki anak lagi. Mereka berfikir seperti itu karena didukung dengan kenyataan terhadap orang-orang yang memiliki pengalaman hidup seperti itu. Mereka takut jika hal itu juga akan menimpa mereka. Padahal, rasa takut yang berlebihan dapat melemahkan seseorang secara psikis yang akhirnya dapat menurunkan kekebalan tubuh atau daya immunitas yang secara alamiah ada dalam tubuh (Lutfi, 2008). Proses menjadi tua merupakan proses yang terjadi di dalam tubuh yang berjalan perlahan-lahan tapi pasti, dimana terjadi penurunan fungsi tubuh secara berangsur. Penurunan fungsi ini meliputi anatomi, biokimiawi, keseimbangan hormonal dan lain-lain. Wanita yang hamil di usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 30 tahun ketika hamil anak pertama memiliki resiko kehamilan yang cukup tinggi.

Artikel Terkait

Penyebab abortus spontan
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email